Sabtu, 04 Oktober 2014

Sama Yang Beda - Chapter 1

"Srek srek srek srek", suara itu terdengar begitu cepat dari seorang anak yang memakai seragam putih biru pada sebuah trotoar yang diramaikan oleh pedagang kaki lima yang menjual tempura, cilok, sampai aksesoris remaja. Tepat di tengah simpang empat jalan itu, jam raksasa menunjukan pukul 15.30. Derungan mesin pun bersorak liar, padat bak supporter debat presiden, panas!

Gilang terlihat cukup terengah - engah. Pundaknya naik turun dengan cepat, hembusan panas begitu terasa keluar dari bibirnya. Keringatnya kini telah memandikan sebagian tubuhnya, mengklimisi rambutnya dan membuat warna merah jelas terlihat dalam balutan kain putih yang dikenakannya.




"Kreekkkk" Gilang memasuki ruangan dengan cepat dan sigap
"Maaf Pak, tadi ada jam tambahan wajib matematika" Gilang menjelaskan dengan nafas tersendat - sendat. Terlihat sangat kusam penampilannya sore itu.
"Ok, tugas kemarin saja dikumpulkan lalu silahkan ambil tempat" Lelaki itu mempersilahkannya dengan sedikit simpul senyum yang sangat ramah.

Suasana kelas les salah satu lembaga itu cukup terlihat efektif. Dengan jumlah siswa delapan orang, mereka mempelajari ilmu pasti dengan sangat hikmat untuk mencapai tujuan mereka, lulus sekolah dan dapat masuk SMA favorit!
_________________________________________________________________________________

"KRIIINNGGGGG" suara bel sekolah pagi itu membuat siswa siswi SMP Nusa berhamburan menuju kelasnya masing masing. Pohon mangga, bambu, serta mahoni ikut mengeluarkan suara menyambut pagi itu. Pinggir jalan raya terlihat mulai sepi karena jam masuk sekolah. Kelas pun diramaikan celotehan siswa siswi yang menunggu mata air ilmu mereka tiba.

Didit terlihat panik. Di keluarkannya semua isi dalam tas untuk mencari sebuah buku yang berisi tugas matematika yang harus mereka kumpulkan pagi itu. Walaupun ia yakin dapat mengisi semua tugas yang guru berikan, tetap saja ia harus mengumpulkannya sebagai bentuk kedisiplinannya.

Didit adalah salah satu siswa yang cukup berprestasi dengan gelar juara olimpiade matematika di Kotanya. Walaupun keadaannya memaksa untuk mengamen selepas jam sekolah usai, ia tetap menikmati hidupnya sebagai pelajar. Ia selalu menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas sekolah ketika ia berisirahat di sela perjalanannya meraup beberapa carik kertas bergambarkan Pattimura.

Terlihat tiga buku dikeluarkan Didit. Jelas saja, hanya itu buku yang ia punya. Satu buku cetak matematika, dan tiga buku tulis. Walaupun guru sering mengingatkannya karena jumlah buku, ia hanya bisa menunduk dan berharap suatu saat datang sebuah keajaiban hujan buku tulis dalam kamarnya.

Gilang terlihat bingung melihat sahabat yang juga teman sebangkunya itu. Jarang sekali ia melihat Didit begitu panik. Yang ia tahu, sobatnya itu merupakan orang yang sangat santai dengan menjalani apa adanya dengan usaha keras.
"Kenapa sih dit, dari tadi usrek usrek aja?" Gilang ikut terlihat bingung juga panik akibat ekspresi Didit.
"Ini Lang, buku tugasku kok ga ada di tas ya? masa ada yang ngambil"
"Loh, emangnya kamu taruh mana buku mu itu?"
"Ya gak tahu Lang, kalo tahu aku ga bingung gini" Lirik Didit sambil sedikit tertawa melawan paniknya.
"haha...masa iya bukumu lari gara-gara keseringan kamu siksa? ditulis terus tapi gak kamu kasih sampul" Gilang mencoba mencairkan suasana
"kamu kira buku ku itu transformer apa, hahaha" Didit terlihat sedikit lupa dengan paniknya.

"Selamat pagi anak-anak" Pak Shabar dengan sungging senyum yang dihiasi kumis meruncing ke atas seperti kurva datang tiba-tiba dan membuat kelas itu hening seketika. Saat itu juga Didit kembali panik, sementara Gilang melirik sahabatnya dengan nafas panjang.

"Baik, sebelum mengumpulkan tugas yang kemarin, coba di buka halaman 84. Logaritma" lanjut Pak Shabar. "Kebetulan hari ini saya ada acara penting anak - anak. Jadi nanti tolong di kerjakan latihan satu sampai tiga ya. Jangan berisik!" Tambahnya.

"HOREEE!!!" Teriakan siswa siswi kegirangan karena tak ada guru. Tetapi di beberapa sudut terlihat beberapa raut wajah yang cukup kecewa ketika diberi tugas oleh gurunya itu.

"Lang, gimana ini?kamu kan ikut bimbingan belajar" Didit langsung saja menikam Gilang seperti biasanya.
"Gundulmu dit! di tempat les aku juga belum di ajarin. Udah minggu ke tiga Pak Shabar cuman ngasih tugas aja" Gilang kesal. tangannya secara otomatis memijat - mijat keningnya walaupun ia tahu sebenarnya tidak sedang sakit kepala.
"Hmm, tugas lagi - tugas lagi" Didit mulai membuka buku pelajarannya.
"Dit dit, biasanya kan kamu udah belajar duluan di rumah" Gilang menepuk pundak sahabatnya penuh maksud.
"Kamu aja yang ikutan bimbel ga bisa, apalagi aku!" seraya tangannya menyundu Gilang.
"Ah tau ah! nanti saja aku tanya di guru bimbel" Gilang mulai merasa mentok.
"Lah kamu enak, terus aku gak kamu ajarin?" Didit mengernyitkan dahi.
"Besok aku kasih tau caranya, tenang aja mannn" Gilang nyengir "Terus, sekarang daripada nganggur, ngerjain juga ga bakalan bisa. Mending ke kantin yuk" Lanjutnya.

Mereka pun jalan menuju kantin. Masih mencaci maki Pak Shabar yang kerjaannya ngasih tugas tanpa menjelaskan. Mereka pikir pun akan percuma untuk melapor ke wali kelas mereka. Karena pernah suatu saat mereka melapor, tapi hanya mendapatkan jawaban "Pak Shabar itu hebat loh, dia juga dosen di Univ. Kebangsaan" yang berarti laporan mereka nihil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar